Oleh: Fadjar Pratikto*
Opini di harian ANALISA-Medan, 7 November 2005
Semua orang tahu, ekonomi China sedang bersinar terang. Tingkat pertumbuhan ekonominya nomor wahid di dunia yakni mencapai lebih dari 9% dalam dua tahun terakhir ini. Perdagangan impor dan ekspor bertambah pesat. Produknya merajai pasaran dunia. Cadangan devisa dan penyerapan investasi langsung dari luar juga nomor dua di dunia. Pembangunan fisik di kota-kota sepanjang pesisir pantai yang megah membuat kita berdecak kagum. Inilah raksasa baru ekonomi dunia.
Di luar dugaan, belum lama ini Presiden Hu Jintao justru mengungkapkan kelemahan fundamental ekonomi China. Kantor berita Xinhua dalam laporannya menyebutkan selama bertahun-tahun, uang pemerintah dan dana bank milik negara telah membiayai banyak proyek besar yang tidak bermanfaat. Korupsi, dan sikap aparat yang tidak bertanggungjawab berperan dalam pemborosan ini. Disebutkan juga investasi membabi buta telah menyebabkan penggunaan baja dan energi yang sia-sia. Sekaligus telah mengakibatkan tekanan inflansi dan kekuatiran akan kehancuran sumber daya dan dimasa datang membuat China tergantung pada impor. Pembangunan yang difokuskan di kota-kota pesisir juga telah mengakibatkan kesenjangan sosial yang tinggi antara kota dan desa.
Hu Jintao berharap China di masa mendatang memiliki pemerintahan yang bersih, dan aparat yang bebas dari budaya korup. Untuk itu, dalam cetak biru pengembangan ekonomi dan sosial China 2006-2010 dititikberatkan pada pembangunan berkesinambungan dan cepat, mencegah pemborosan sumber daya, serta menjaga kelestarian lingkungan. Sebuah langkah maju untuk memperbaiki masalah pembangunan ekonomi yang ditinggalkan penguasa komunis China sebelumnya.
Keterusterangan Hu Jintao mengenai keadaan ekonomi nasionalnya, patut diacungi jempol. Sebab selama ini, rejim komunis China terkesan menutupi kenyataan kondisi ekonomi di negerinya. Boleh jadi sang presiden sedang menunjukan komitmennya untuk memperbaiki keadaan ekonomi yang belakangan mendapat tekanan dari masyarakatnya yang kecewa karena tidak merasakan kue pembangunan. Sebab “kemakmuran” itu lebih dirasakan warga kota, sedangkan keadaan di pedesaan tetap miskin.
Sebelumnya Gordon C. Chang, penulis buku The Coming Collapse of China (2001), juga pernah mengungkapkan kalau dilihat dari permukaan pertumbuhan ekonomi Cina sangat mencengangkan. Akan tetapi, menurutnya, pandangan ini sebenarnya menyesatkan karena gejala kemunduran ekonomi terlihat dengan jelas. BUMN yang disebutnya sebagai peninggalan sistem perencanaan sosial Maois sebenarnya tidak ekonomis. Sistem perbankan yang dikuasai seluruhnya oleh pemerintah sangat insolvent dan dapat disebut sebagai yang paling lemah di dunia. Deflasi sebenarnya telah menggejala sejak 1998, investasi asing macet, dan pelarian modal tengah berlangsung.
Selama ini, solusi yang diberikan partai terhadap masalah tersebut adalah dengan terus memberikan stimulus fiskal secara besar-besaran sehingga yang terjadi adalah defisit anggaran yang sangat massif. Atas dasar itu Chang memprediksikan bahwa krisis akan bertambah hebat, dislokasi ekonomi akan menjadi masalah sosial dan menjadi krisis politik. Karena tidak ada solusi, Cina diprediksikan akan kolaps.
Senada dengan itu, pakar ekonomi dari Taiwan, Prof.Zhang Qing Shi juga pernah mengungkapkan indikasi akan bangkrutnya ekonomi China. Apalagi ia menunjukan tingkat ketergantungan China terhadap luar negeri (proporsi total impor ekspor dalam GDP) tingginya sangat mengejutkan yakni melebihi 70%, dengan jumlah penduduk sekitar 1,2 miliar jiwa, ketergantungan melebihi 10% saja sudah sangat tinggi, semestinya tidak melebihi 20%. Ia bahkan heran kenapa China belum ambruk, dan inilah yang disebutnya sebagai keajaiban ekonomi China yang sesungguhnya.
Jalan Demokrasi
Semua persoalan yang dihadapi pemerintah China saat ini sebetulnya bermuara pada masalah politik. Keberanian Hu Jintao mengungkapkan kelemahan ekonomi negaranya, tidak lepas dari surutnya pengaruh klik Jiang Zemin dipercaturan politik China. Selama Jiang berkuasa, korupsi telah merajalela. Tidak hanya dilakukan oleh keluarga Jiang, namun merasuki sampai ke jajaran elite partai. Diawal pemerintahan Hu, klik Jiang masih sangat besar dan berpengaruh. Apalagi Jiang masih menduduki jabatan sebagai Ketua Komisi Militer. Sejak awal, Hu sudah mengetahui kebobrokan ekonomi negara, namun dia tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk mendobraknya.
Langkah ekonomi yang akan ditempuh oleh Hu untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan tidak korup, telah memberikan harapan baru akan perbaikan kondisi ekonomi China, yang berarti dia sudah siap berhadapan dengan kubu Jiang yang korup dan mempertahankan sistem komunis. Namun tanpa dibarengi dengan reformasi politik, langkah ekonomi Hu itu sepertinya tidak cukup berarti bagi reformasi struktural di China. Bagaimanapun perkembangan ekonomi yang pesat menuntut perubahan sistem politik yang lebih adil, transparan dan demokratis. Seiiring dengan reformasi ekonomi sejak 1980-an muncul kelas menengah dan kaum terpelajar di kota-kota yang semakin kritis menyikapi sistem monolitik yang diterapkan oleh Partai Komunis China (PKC) yang berkuasa selama 56 tahun.
Pandangan perlunya kemajuan ekonomi China harus sejalan dengan demokratisasi pernah dikemukakan oleh mantan Perdana Menteri sekaligus Sekjen PKC Zhao Ziyang pada masa pemerintahan Deng Xioping. Tahun 1986, dia mengusulkan agar para wakil partai komunis di tingkat desa dipilih langsung oleh rakyat setempat, bukan ditunjuk oleh partai. Setahun kemudian pada Kongres Partai Komunis ke-13, nominator nobel perdamaian ini mengusulkan pemisahan pemerintahan dari Partai Komunis. Karena usulan itu, arsistek reformasi ekonomi China ini dikucilkan dari pemerintahan. Saat muncul gerakan mahasiswa pro-demokrasi pada awal Juni 1989, ia bahkan berdiri dibelakang mahasiswa meski ia akhirnya harus rela melepaskan jabatannya yang sangat strategis. Saat itu hingga kini, PKC menolak perubahan demi mempertahankan “stabilitas nasional”.
Peristiwa pembantaian massal terhadap para mahasiswa di Lapangan Tianamen, ternyata tidak menyurutkan langkah mereka untuk memperjuangkan demokratisasi dan keadilan. Di luar negeri para mantan aktivis mahasiswa masih terus menyuarakan kebebasan. Keluarga korban dalam tragedi berdarah itu yang tergabung dalam organisasi Tiananmen Mother juga terus menyampaikan aspirasinya. Tidak ketinggalan kelompok-kelompok agama dan spiritual seperti penganut Katholik di sebagian wilayah China, kaum muslim Uighur di Xinjiang Barat, kelompok Tibetan di India, serta pengikut Falun Gong di dalam dan luar negeri juga memperjuangkan kebebasan berkeyakinan. Sikap kekerasan yang dihadapi rejim komunis dalam realitasnya justru membuat gerakan tersebut makin kuat dan berakar dalam masyarakat. Kasus Falun Gong telah membuktikan itu.
Dalam skala lokal tuntutan akan demokratisasi juga sudah mulai muncul ke permukaan. Data yang ada menunjukan bahwa selama tahun 2004 telah terjadi gerakan massa anti kekerasan berskala besar sebanyak 60 ribu kasus (rata-rata setiap hari 164 kasus). Angka tersebut masih menurut sumber resmi pemerintahan yang masih meragukan validitasnya, sehingga boleh jadi jumlahnya lebih besar lagi.
Kasus terakhir yang cukup menarik perhatian publik adalah gerakan demokrasi di tingkat lokal di Taishi, sebuah desa kecil dengan 2075 penduduk di Selatan China propinsi Guangdong. Sejak Juli lalu, lebih dari 400 penduduk menandatangani petisi untuk menggantikan kepala desa Chen Jinsheng, yang dicurigai telah menggelapkan uang desa. Warga menginginkan kepala desa dipilih oleh mereka sendiri, bukan ditunjuk oleh PKC cabang setempat. Gerakan ini dihadapi oleh negara dengan membubarkan massa, dan menahan aktivis HAM. Untuk membendung informasi itu, pers dibungkam.
Satu lagi upaya demokrasi yang sedang berjalan adalah gelombang melepaskan diri dari ikatan PKC yang diprakasai oleh koran berbahasa Mandarin— Dajiyuan atau dalam bahasa Ingris disebut The Epoch Times. Sejak akhir 2004 lalu, koran ini memuat sisipan artikel berjudul “Jiuping”, atau Sembilan Komentar Mengenai Partai Komunis (Tiongkok) yang ditujukan kepada rakyat China. Artikel ini kemudian dibukukan ke sejumlah bahasa, salah satunya bahasa Indonesia. Di luar dugaan, pengaruh buku yang mengungkap fakta sejarah kejahatan PKC ini sangat besar. Setiap hari di website The Epoch Times, puluhan ribu orang China mengundurkan diri dari PKC. Jumlah anggota PKC yang kini sudah mengundurkan diri bahkan mencapai lebih dari 5 juta orang. Perubahan ini sangat signifikan mengingat dalam sejarah poltik, belum pernah terjadi pengunduran diri anggotanya secara massal.
Tidak sebatas menyebarluaskan Jiuping, di luar negeri The Epoch Times mengorganisir diskusi dan seminar dengan tema kejahatan PKC, serta mengadakan pawai seruan mengundurkan diri dari PKC di sejumlah negara. Awal Oktober lalu, ribuan warga Taiwan dan Jinmen mengadakan gerakan mendukung 5 juta orang yang mengundurkan diri dari PKT. Mereka juga menyerukan kepada pemimpin PKC saat ini Hu Jintao, untuk mengikuti jejak pemimpin Uni Soviet terdahulu, Mikhail Gorbachev, yakni membubarkan PKT dan mendirikan partai baru yang lebih demokratis. Mereka yakin, Tiongkok baru hanya bisa diwujudkan tanpa keberadaan partai komunis.
Semangat demokrasi nampaknya sudah tak terbendung lagi. Informasi tentang Jiuping serta himbauan untuk mundur dari PKC dalam bentuk poster dan selebaran terpasang di penjuru China. Sistem komunis yang mendasarkan pada sentralisme kekuasaan dianggap sudah tidak relevan lagi bagi masyarakat China yang sedang berubah. Barangkali pernyataan Gordon C. Chang yang memperkirakan kekuasaan PKC akan rontok dalam jangka waktu 10 tahun karena sendi-sendi pendukungnya sudah rapuh dan tidak sesuai lagi dengan zaman, akan terbukti tidak lama lagi. Tanda-tanda kearah sana sudah mulai terlihat. Kalau Hu Jintao tidak mengikuti arus besar itu, dia pasti akan terlindas.***
*Penulis adalah pemerhati Tiongkok