Politik Rasialis China

Oleh: Fadjar Pratikto (Koordinator Global Human Right Efforts)

Republika, Rabu, 15 Juli 2009

Tolong, janganlah Anda salah paham. Kami tidak melawan Pemerintah Cina. Kami hanya ingin hidup dalam kedamaian dan memelihara identitas kami (Rebiya Kadeer, pemimpin Uighur di pengasingan).

Harapan Rebiya Kadeer, presiden Kongres Uighur Sedunia tiga tahun yang lalu, ternyata hilang begitu saja ditelan sikap represif penguasa Cina. Kembali sejarah menorehkan darah di Provinsi Xinjiang, Cina. Ratusan kaum Muslim Uighur tewas dalam peristiwa kekerasan yang terjadi di Ibu Kota Urumqi, 5 Juli 2009. Tentara dan polisi membubarkan aksi protes mereka secara represif. Kemudian, pemimpin Cina kembali menuduh Rebiya Kadeer dkk berada di balik insiden itu.

Penguasa komunis Cina pun menyederhanakan peristiwa berdarah tersebut sebagai konflik etnis antara suku Uighur dan suku Han. Kejadian yang merupakan buntut dari insiden 26 Juni lalu di Shaoguan, Guangdong, itu seolah-olah hanyalah konflik rasialis yang bernuansa ekonomis. Realitasnya, kekerasan itu merupakan puncak dari kekecewaan etnis Uighur atas politik rasialis yang direkayasa dan terus dipelihara oleh rezim komunis Cina agar bisa terus mencengkeram kaum Muslim dan mengeksploitasi wilayah yang kaya akan minyak, gas, dan batu bara itu.

Genosida

Uighur merupakan etnis beragama Islam yang terbesar di wilayah Xinjiang Barat, Cina. Jumlah mereka hampir separuh dari penduduk Xinjiang yang berjumlah 19 juta orang. Sejak komunis Cina berkuasa pada 1949, Turkistan Timur yang saat ini disebut daerah otonom Xinjiang ditindas. Etnis Han yang merupakan suku mayoritas di Cina dimobilisasi untuk menguasai daerah ini. Bersamaan itu, kaum Muslim dibatasi ruang geraknya dan dicurigai sebagai separatis.

Sejak itu, kaum Muslim dilarang menghadiri pengajian atau shalat ke masjid sampai umur 18 tahun. Kegiatan dan ekspresi agama dilarang di sekolah. Anak sekolah tidak diperbolehkan berdoa, memakai pakaian, atau simbol Islam dan berpuasa di bulan Ramadhan. Pemerintah memantau masjid, memilih pemimpin agama, dan mengendalikan organisasinya. Selain itu, bahasa dan aksara Uighur berusaha dimusnahkan. Anak-anak dipindahkan ke luar daerah, dicuci otaknya, dipaksa mengadopsi budaya komunis yang chauvinis, dan meninggalkan jati dirinya.

Asia Calling memberitakan perkembangan Islam dan budaya di Xinjiang dikendalikan secara ketat. Rebiya Kadeer menyebut tindakan penguasa Cina itu sebagai culture genoside terhadap etnis Uighur. Tahun 1957 dan 1966, seiiring Revolusi Kebudayaan yang dipimpin oleh Mao Zedong, keyakinan dan budaya Uighur kembali dihancurkan. Para pemimpin dan intelektual lokal ditahan, yang melawan dibunuh. Mereka tidak diberi kesempatan membela diri.

Seiiring dengan meningkatnya jumlah suku Han di wilayah Xinjiang, isu primordial dan rasisme disulut. Pada 1991, terjadi konflik antara suku Uighur dan Han yang direkayasa. Puncaknya terjadi pembantaian etnis Uighur di Gulja, Xinjiang, pada 5 Februari 1997 silam. Laporan Amnesty International waktu itu menyebutkan, jumlah orang yang tewas mencapai ribuan orang. Human Rights Watch dan Human Rights in China menyebutkan, penguasa Cina telah menumpas Muslim Uighur dengan alasan melawan terorisme dan separatisme.

Beijing pun memanfaatkan ‘perang melawan terorisme’ yang dipimpin oleh Amerika Serikat untuk mengendalikan daerah itu dan menguasai sumber energi dan mineral-nya. Menjelang Olimpiade Beijing 2008, dengan alasan menyukseskan pesta olahraga dunia, kaum Uighur kembali mengalami tekanan yang luar biasa berat. Penangkapan dan pembunuhan dilakukan oleh tentara Cina untuk mencegah dukungan terhadap mereka. Sikap represif itu berhasil membatasi ruang gerak Islam di sana, sekaligus menciptakan lebih banyak ketegangan etnis.

Diskriminasi

Uighur merupakan kelompok etnis terbesar di wilayah Xinjiang, tetapi tidak mayoritas di Urumqi yang telah menarik banyak migran dari etnis Han. Ada dugaan, suku Han sengaja dipaksa menduduki wilayah itu untuk menyingkirkan etnis Uighur. Daerah dengan 2,3 juta penduduk itu, kini bahkan mayoritas berpenduduk etnis Han. Padahal, ketika PKC pertama kali menduduki daerah itu, etnis Han hanya berjumlah 2 persen, sekarang jumlah mereka mencapai 60 persen.

Suku Han kini menguasai sumber-sumber ekonomi lokal sehingga Uighur tersingkir ke pinggiran kota. Diskriminasi rasial pun dilakukan oleh penguasa Cina dengan hanya menerima orang dari suku Han dalam birokrasi pemerintahan. Bahkan, orang Uighur dengan gelar sarjana pun sulit mendapatkan pekerjaan yang layak. Diskriminasi rasial ini menjadi pilar politik pecah belah untuk memudahkan tegaknya kekuasaan komunis di komunitas Islam ini.

Dengan cara itulah, penguasa komunis Cina berusaha mengendalikan etnis Uighur sambil menjanjikan petumbuhan ekonomi dan kemakmuran bagi mereka. Namun, suku asli setempat sudah lama mengeluhkan bahwa suku Han mengeruk sebagian besar keuntungan dari subsidi pemerintah. Kaum Uighur pun merasa seperti orang asing di negerinya sendiri. Lebih parah lagi, orang Uighur harus menghabiskan tiga bulan dalam kamp-kamp kerja setiap tahunnya tanpa dibayar.

Keadaan tersebut mengakibatkan kecemburuan sosial serta menimbulkan ketegangan rasialis. Rezim Beijing mengetahui betul potensi rasialis itu untuk mempertahankan cengkeramannya di Xinjiang. Aksi suku Uighur di Urumqi sebagai protes atas penanganan yang diskriminatif terhadap perkelahian di pabrik mainan Xu Re di Kota Shaoguan direkayasa untuk menyulut kerusuhan rasial. Saat itulah, penguasa Cina memiliki alasan untuk menghancurkan lagi etnis Uighur.

Beijing menuding kekerasan tersebut sebagai gerakan separatis untuk kemerdekaan Muslim Uighur. Itulah kelihaian mereka untuk mengalihkan perhatian dunia atas kejahatan kemanusiaan yang dilakukannya. Propaganda negatif inilah yang disebarluaskan oleh media resmi Cina serta dikutip media di seluruh dunia. Politik rasialis ini ternyata sangat efektif untuk mengelabui dunia internasional dan mengaburkan fakta yang sebenarnya. Karena itu, kaum Muslim harus bersikap atas pelanggaran hak asasi manusia berkedok konflik etnis yang terjadi di Xinjiang.

 

 

Post a comment or leave a trackback: Trackback URL.

Tinggalkan komentar